Pengamat: Dampak Transformasi Pembayaran Digital pada Penurunan Aktivitas Ekonomi dan Jumlah Peredaran Uang

Aksaratimes.com I 10 Juli 2024 Jakarta – Konsep ekonomi digital menawarkan efisiensi dan fleksibilitas dalam praktiknya. Namun, hal ini juga dapat berdampak pada penurunan transaksi uang tunai secara langsung, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah yang berada di daerah pelosok dengan penggunaan perangkat digital yang minim dan akses internet yang terbatas, hal ini dapat menimbulkan dampak deflasi pada ekonomi di suatu wilayah.

Sejak diluncurkan pada 1 Januari 2020, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) telah mengalami transformasi dalam berbagai jenis pembayaran digital, baik melalui mobile banking maupun e-wallet. Transformasi ini berdampak pada penurunan jumlah ATM di masyarakat serta menurunnya jumlah uang tunai yang tersedia. Penurunan peredaran alat pembayaran tunai ini tidak diikuti dengan peningkatan signifikan dalam jumlah pengguna perangkat digital yang ikut bermigrasi ke metode pembayaran digital.

Penurunan Penggunaan ATM dan Transaksi Debit

Penggunaan kartu debit melalui ATM juga mengalami penurunan. Namun, di sisi lain, pertumbuhan penggunaan QRIS tercatat meningkat sebesar 149,46% secara tahunan, mencapai nilai transaksi sebesar Rp31,65 triliun dengan jumlah pengguna sekitar 46,37 juta.

Read More

Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, terdapat 167 juta pengguna smartphone di Indonesia, yang kemudian meningkat menjadi 204,7 juta pengguna hingga 2022, mayoritas berada di Pulau Jawa.

Tantangan Pembayaran Digital

Tantangan utama dalam transformasi pembayaran digital adalah cash flow dan inflow perputaran uang melalui QRIS yang masih terbatas pada lingkup sosial tertentu. Meskipun metode transfer dan scan digital memungkinkan transaksi dilakukan dari manapun selama terhubung dengan internet, dalam praktiknya, penggunaan QRIS justru cenderung terbatas secara lokal, terutama dalam transaksi peer-to-peer.

Berbeda dengan perputaran uang tunai yang dapat menjangkau lebih banyak pengguna tanpa batasan wilayah, usia, dan perangkat, QRIS justru membatasi hal tersebut. Berdasarkan data penggunaan perangkat pada tahun 2022, Pulau Jawa memiliki tingkat kepemilikan smartphone sebesar 86,6%, Sumatra 84,14%, Kalimantan 52,12%, Bali dan Nusa Tenggara 45,24%, Sulawesi 43,82%, dan Maluku serta Papua 27,68%.

Pembatasan Transaksi QRIS

QRIS membatasi peredaran uang tunai terutama di wilayah dengan penggunaan perangkat digital dan akses internet yang terbatas. Misalnya, transaksi peer-to-peer dapat dilakukan di kota-kota dengan kepadatan penduduk dan mobilitas tinggi. Namun, jika seseorang pindah ke wilayah dengan penggunaan QRIS terbatas, akses internet dan perangkat digital yang terbatas akan membatasi akses mereka terhadap transaksi digital, karena saldo digital pada akhirnya harus dicairkan terlebih dahulu, belum lagi dari segi efisiensi, dimana bila perangkat digital kita mati, otomatis kita tidak dapat melakukan transaksi.

Kantor cabang bank dan ATM juga memiliki keterbatasan dalam melakukan pencairan dana. Oleh Karenanya Transformasi digital yang tidak diikuti oleh peningkatan signifikan pengguna perangkat digital dari berbagai usia dan kalangan akan memperlambat perputaran uang dan laju ekonomi karena ketidaksiapan transformasi digital atau keterbatasan pengguna perangkat digital, terutama di kalangan usia lanjut yang menganggap penggunaan uang tunai masih jauh lebih praktis, serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak semua memiliki smartphone.

QRIS membunuh nilai fungsi uang tunai, dalam pemahaman nilai, Apa bedanya Uang 10.000 Rupiah kertas, dengan Uang 10.000 rupiah Tunai? itu memang sama-sama uang dan bernilai sama, tetapi tetap tidak sama, karena dalam prakteknya, semua uang tersebut harus mengisi fungsi-fungsi mereka sendiri-sendiri sesuai dengan kegunaan masing-masing, uang tersebut bernilai sama hanya karena presespi semua orang meyakini bahwa uang 10.000 kertas dengan uang 10.000 koin sama nilai nya, walau tidak sama secara fungsional. yang tentunya, dalam peredaran nya setiap uang memiliki manfaat dan nilai masing-masing yang tetap tidak tergantikan, dimana uang kecil akan lebih banyak beredar di setiap transaksi kecil dan uang besar akan beredar dalam lingkup transaksi besar, hal inilah yang masih belum dapat tergantikan oleh pembayaran dalam konsep digtal.

Orang-orang yang masih sangat tergantung pada uang tunai sering kali berasal dari kalangan profesi yang beroperasi di sektor informal atau dengan akses terbatas ke layanan perbankan digital. Beberapa profesi mereka antara lain:

  1. Pedagang Kecil:
    Pedagang kaki lima, penjual di pasar tradisional, dan pedagang keliling yang menjual makanan, minuman, atau barang kebutuhan sehari-hari.
  2. Tukang Ojek dan Sopir Angkot:
    Mereka yang bekerja sebagai tukang ojek pangkalan, tukang ojek sepeda, tukang becak, dan sopir angkutan kota (angkot) sering kali menerima pembayaran dalam bentuk tunai.
  3. Pekerja Harian Lepas:
    Buruh bangunan, tukang kayu, tukang kebun, tukang cuci, dan pekerja kasar lainnya yang biasanya dibayar harian atau mingguan dalam bentuk tunai.
  4. Pembantu Rumah Tangga:
    Pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah-rumah sering kali menerima gaji mereka dalam bentuk tunai.
  5. Petani dan Nelayan Kecil:
    Mereka yang menjual hasil pertanian atau tangkapan ikan mereka langsung ke pasar atau konsumen biasanya melakukan transaksi dalam bentuk tunai.
  6. Tukang Parkir dan Juru Parkir Liar:
    Mereka yang bekerja sebagai tukang parkir di area umum atau parkir liar sering kali menerima pembayaran dalam bentuk tunai.
  7. Pedagang Asongan:
    Mereka yang menjajakan barang dagangan mereka di jalan-jalan, di angkutan umum, atau di tempat-tempat keramaian lainnya.
  8. Pengamen dan Pemulung:
    Mereka yang bekerja di jalanan sebagai pengamen atau mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual.
  9. Tukang Cukur dan Penata Rambut di Pinggir Jalan:
    Mereka yang menawarkan jasa potong rambut di kios-kios kecil atau di pinggir jalan.

Profesi-profesi ini umumnya melibatkan transaksi harian dalam jumlah kecil yang lebih mudah dilakukan dengan uang tunai. Selain itu, akses terbatas ke infrastruktur perbankan dan digitalisasi juga menjadi faktor yang membuat mereka lebih bergantung pada uang tunai. (red-NS)