Aksaratimes.com I 21 Mei 2024 Jakarta – Anak-anak yang tergolong standar di sekolah sering kali tidak mendapat banyak perhatian. Mereka biasanya berinteraksi dengan baik dengan teman dan guru, terlihat senang, dan menikmati proses pembelajaran.
Berbeda dengan anak-anak yang bermasalah, mereka selalu menarik perhatian, baik dari guru maupun teman sekelas. Mereka cenderung kurang akrab, tertutup, bahkan terkesan menghindar dari interaksi dengan guru.
Masalah yang sering dialami oleh anak-anak ini, seperti membolos, terlambat masuk sekolah, mencuri barang teman, bertengkar, atau merundung, tidak hanya berdampak pada diri mereka sendiri, tetapi juga pada orang lain.
Seringkali, sekolah menjadi sasaran kritik ketika anak membuat masalah. Sekolah dianggap bertanggung jawab dan diharapkan untuk menyelesaikan setiap masalah yang timbul di lingkungan sekolah. Pandangan ini didukung oleh sebagian besar orangtua siswa.
Namun, sejatinya tanggung jawab tidak hanya terletak pada sekolah. Orangtua juga memiliki peran besar dalam membentuk perilaku anak, karena pendidikan pertama anak dimulai dari keluarga. Anak pun memiliki tanggung jawab atas perilaku dan sikapnya sendiri.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, anak secara alamiah akan mengenal risiko yang harus ditanggung atas perilaku dan sikapnya. Guru dan orangtua memiliki peran penting dalam memperkuat rasa tanggung jawab anak, baik di rumah maupun di sekolah.
Dengan bekerja sama, orangtua dan guru dapat membantu anak memahami bahwa setiap tindakan dan perilaku mereka memiliki konsekuensi, serta mengembangkan kesadaran akan tanggung jawab pribadi dalam segala situasi.
Jadi, tanggung jawab atas anak yang bermasalah di sekolah seharusnya tidak hanya dipikul oleh sekolah, tetapi juga oleh orangtua dan anak itu sendiri. Dengan demikian, kolaborasi antara sekolah, orangtua, dan anak dapat membentuk sikap tanggung jawab yang kuat dalam diri anak, sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam berperilaku dan bersikap di mana pun dan kapan pun.
Sementara itu, Beda lagi dengan anak-anak yang terlibat dalam masalah hukum pidana dimana ini merupakan isu yang memerlukan perhatian cukup serius, dan sekolah memiliki peran penting dalam membantu mengatasi masalah ini. Menurut studi dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada tahun 2016 dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) pada tahun 2020, mayoritas anak yang terlibat dalam tindak pidana, atau yang lebih dikenal sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, adalah peserta didik.
Peserta didik yang terlibat dalam masalah hukum pidana rentan mengalami berbagai kendala yang menghambat mereka dalam mendapatkan layanan pendidikan yang optimal. Hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak dengan status peserta didik yang terlibat dalam masalah hukum pidana memiliki risiko tinggi untuk putus sekolah, dikeluarkan dari sekolah, atau mengulang di kelas yang sama pada tahun ajaran berikutnya. Namun, mengapa hal ini terjadi?
Data dari tahun 2021 di Jawa Tengah menunjukkan bahwa 45 dari 240 anak yang terlibat dalam masalah hukum pidana mengalami putus sekolah karena dikeluarkan, diminta mengundurkan diri, atau memilih untuk mundur karena alasan pribadi. Selama proses peradilan, peserta didik yang terlibat dalam masalah hukum pidana seringkali tidak mendapatkan layanan pendidikan. Selain itu, mereka juga rentan terhadap stigma negatif dari masyarakat.
Sebagai contoh, seorang peserta didik di Sekolah Menengah Pertama di Temanggung, Jawa Tengah, yang melakukan pembakaran fasilitas sekolah, menghadapi stigma dari publik, termasuk pihak sekolahnya sendiri. Namun, kasus tersebut menunjukkan bahwa tindakan tersebut dilakukan sebagai akibat dari perundungan dan kurangnya respon yang memadai dari pihak sekolah.
Sekolah tidak boleh berdiam diri ketika mengetahui peserta didiknya terlibat dalam masalah hukum pidana. Berdasarkan analisis yang kami lakukan, ada tiga rekomendasi dukungan yang dapat diberikan oleh sekolah:
- Tidak Mengeluarkan Peserta Didik Selama Proses Peradilan
Sekolah sebaiknya tidak mengeluarkan peserta didik selama proses peradilan. Menurut sebuah studi, ketika sekolah menggunakan keterlibatan dalam sistem peradilan sebagai alasan untuk mengeluarkan peserta didik, hal ini justru membuat peserta didik enggan kembali ke layanan pendidikan. - Memberikan Rekomendasi Terkait Layanan Pendidikan Selama Proses Peradilan
Sekolah dapat memberikan rekomendasi terkait layanan pendidikan selama proses peradilan. Rekomendasi ini dapat disusun oleh kepala sekolah, wali kelas, serta guru bimbingan dan konseling, yang berisi rencana penyesuaian kegiatan belajar mengajar peserta didik sesuai kebutuhan mereka. - Menyesuaikan Pemberian Layanan Pendidikan
Sekolah dapat menyesuaikan pemberian layanan pendidikan selama peserta didik mengikuti proses peradilan dan menjalani putusan pengadilan. Hal ini meliputi mengubah metode pembelajaran menjadi daring, memberikan tugas tambahan di luar kelas, dan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan peserta didik.
Studi menunjukkan bahwa akses terhadap layanan pendidikan dapat membantu anak-anak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dengan mengurangi risiko pelanggaran hukum di masa depan dan mendukung proses reintegrasi ketika mereka kembali ke masyarakat. Oleh karena itu, upaya bersama antara sekolah, pemerintah, dan lembaga terkait sangat penting dalam memberikan dukungan yang diperlukan bagi peserta didik yang terlibat dalam masalah hukum pidana yang tidak begitu serius.
Bagaimana Anak dibawah Umur yang Terlibat Kekerasan atau Kasus Pembunuhan di Proses?
Hal berbeda Ketika anak di bawah umur terlibat dalam kasus serius seperti pembunuhan, langkah-langkah yang diambil sangat bergantung pada hukum dan sistem peradilan pidana yang berlaku di negara tersebut. Namun, berikut adalah beberapa langkah umum yang biasanya sering dilakukan:
- Perlindungan dan Keamanan
Anak tersebut akan di Rehabilitasi dengan di pastikan dalam keadaan aman dan tidak membahayakan dirinya sendiri atau orang lain. - Hak-hak Anak
Anak tersebut akan di pastikan mendapat hak-hak anak, termasuk hak untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, perawatan kesehatan, dan perlakuan yang sesuai dengan statusnya sebagai anak. - Penyelidikan
Pihak berwajib akan melakukan penyelidikan menyeluruh untuk mengumpulkan bukti dan informasi yang diperlukan tentang kasusnya tersebut. Ini melibatkan kerjasama antara polisi, jaksa, dan pihak berwenang lainnya. - Pemeriksaan Kesehatan Mental
Sang anak juga dipastikan akan mendapat pemeriksaan kesehatan mental, agar memahami kondisinya dan apakah ada faktor-faktor psikologis atau psikiatris yang memengaruhi perilakunya. - Peradilan
Anak yang terlibat dalam kasus pembunuhan biasanya akan dihadapkan pada proses peradilan khusus untuk anak-anak, yang dapat berbeda dengan proses peradilan untuk orang dewasa. Ini bertujuan untuk memperhatikan kebutuhan dan hak-hak khusus anak-anak dalam sistem peradilan. - Pengasuhan dan Intervensi
Setelah proses peradilan, Sang anak mungkin memerlukan pengawasan, pengasuhan, atau intervensi khusus untuk membantu mereka mengatasi masalah yang mendasari perilaku mereka dan mencegah terulangnya tindakan kekerasan di masa depan. Ini dapat melibatkan layanan psikologis, konseling, atau rehabilitasi. - Kebijakan dan Pencegahan
Kasus-kasus seperti ini menyoroti pentingnya kebijakan yang efektif dalam mencegah kekerasan terhadap anak dan memberikan dukungan yang tepat bagi anak-anak yang berisiko atau terlibat dalam kejahatan. Mendorong pendidikan, dukungan keluarga, akses terhadap layanan kesehatan mental, dan pengentasan kemiskinan juga dapat membantu mengurangi risiko kekerasan di kalangan anak-anak.
Situasi ini sangat kompleks dan memerlukan penanganan yang hati-hati dari berbagai pihak, termasuk lembaga penegak hukum, profesional kesehatan mental, pekerja sosial, dan komunitas secara keseluruhan. Langkah-langkah tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan anak, serta mengikuti prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan.
Bisakah Orang Tua Bertanggung Jawab Jika Anak Melakukan Tindak Pidana?
Sebagai contoh, Kasus tentang, Apakah orang tua bisa dipertanggungjawabkan secara pidana jika anak di bawah umur yang mereka biarkan mengemudi kendaraan bermotor terlibat dalam kecelakaan yang fatal.
Penting untuk memahami definisi anak dalam konteks hukum. Berikut informasi tentang sanksi hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana, terutama terkait dengan mengemudi kendaraan bermotor.
Anak, menurut definisi umum, adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Namun, dalam konteks anak yang terlibat dalam kejahatan, biasanya merujuk pada mereka yang berusia 12 hingga 18 tahun dan diduga melakukan tindak pidana.
Dalam kasus mengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kematian seseorang, ancaman pidana berlaku bagi pelaku dewasa, sementara bagi anak di bawah umur, ancaman pidananya maksimal setengah dari yang dikenakan kepada orang dewasa. Namun, jika anak berusia di bawah 14 tahun, mereka hanya dapat dikenai tindakan tertentu, sesuai dengan Pasal 82 UU SPPA.
Meskipun anak yang melakukan tindak pidana bertanggung jawab atas perbuatannya, orang tua tidak dapat dipidana atas tindakan anak mereka. Ini didasarkan pada prinsip hukum pidana bahwa seseorang hanya bisa dipidana jika mereka secara langsung terlibat dalam perbuatan pidana.
Namun, secara perdata, orang tua dapat diminta bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak mereka. Ini diatur dalam Pasal 1367 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa orang tua bertanggung jawab atas tindakan anak di bawah umur yang tinggal bersama mereka.
Sebagai contoh, dalam sebuah kasus di PN Bandung, seorang ayah dinyatakan harus membayar ganti rugi atas kecelakaan yang disebabkan oleh anaknya. Meskipun ayah tersebut tidak terlibat secara langsung dalam kecelakaan, ia dianggap bertanggung jawab atas perbuatan anaknya menurut hukum perdata.
Kesimpulannya, sementara orang tua tidak bisa dipidana atas tindakan anak mereka, mereka dapat diminta bertanggung jawab secara perdata atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan anak di bawah umur tersebut.
Beda Cerita bila itu Dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, ada beberapa hal dalam ranah hukum perdata yang bisa dituntut atau dipertimbangkan:
- Ganti Rugi Materil
Keluarga korban bisa menuntut ganti rugi materil, seperti biaya pengobatan sebelum meninggalnya korban, biaya pemakaman, atau kerugian finansial lainnya yang diakibatkan oleh kejadian tersebut. - Ganti Rugi Imateril
Selain kerugian finansial, keluarga korban juga bisa menuntut ganti rugi imateril, yang mencakup penderitaan emosional, kehilangan, atau trauma yang dialami akibat kematian korban. - Tanggung Jawab Orang Tua
Berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata, orang tua anak yang melakukan pembunuhan di bawah umur bisa diminta bertanggung jawab atas perbuatan anaknya. Mereka dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan oleh anak mereka. - Pencabutan atau Penahanan Harta Benda
Jika ada harta benda yang dimiliki oleh orang tua atau anak yang digunakan untuk melakukan tindakan tersebut, harta tersebut bisa menjadi objek tuntutan untuk membayar ganti rugi kepada korban atau keluarganya.
Penting untuk dicatat bahwa tuntutan-tuntutan ini akan tergantung pada kebijakan hukum perdata yang berlaku di negara tempat kejadian tersebut terjadi, serta bukti dan fakta yang tersedia dalam kasus tersebut. (red)