Pria Utah Ungkap Kisah dirinya Terjebak Sekte yang Memaksa Poligami dan Mengungkap Orientasi Seksualnya

Aksaratimes.com I 17 Juli 2024 Jakarta – Nephi Robinson, dibesarkan dalam kehidupan yang ketat di dalam sekte ekstrimis Latter Day Church of Christ, juga dikenal sebagai The Order. Didirikan pada tahun 1935 oleh Elden Kingston, sekte ini mempertahankan poligami sebagai prinsip utamanya setelah gereja Mormon menghentikannya.

Nephi, anak dari John Daniel Kingston dan salah satu dari 14 istri ayahnya, mengalami tekanan besar di dalam sekte ini. Meskipun dipaksa untuk menikah dan hidup berpoligami, dia merahasiakan orientasi seksualnya yang sejak lama dia sadari sebagai seorang gay.

“Saya merasakan banyak rasa malu karena itu,” kata Nephi dalam wawancara di saluran YouTube Cults to Consciousness. Menghadapi tekanan internal dan eksternal untuk hidup sesuai aturan sekte, Nephi berjuang menyembunyikan identitasnya dan menemukan alasan hidupnya dalam peran kakak yang baik bagi adik-adiknya.

Read More

“Saya mencoba sangat keras untuk tidak menjadi gay. Saya berpuasa dan berdoa berkali-kali. Menjadi gay adalah hal yang sangat buruk sehingga saya melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk merasa layak hidup,” ungkapnya.

Nephi akhirnya menikah dan memiliki tujuh anak dari pernikahannya. Meskipun mencintai anak-anaknya, tekanan untuk menikahi wanita lain terus menerus membebani Nephi dari ayah dan istrinya. “Membuat anak-anak adalah bagian paling tidak saya sukai dari hidup saya. Namun memiliki anak-anak adalah hal yang paling menyenangkan untuknya,” katanya.

Pada tahun 2011, Nephi akhirnya mengungkapkan orientasi seksualnya kepada ayahnya. Namun, respon yang dia terima sangat mengejutkan; ayahnya menyalahkan orientasi seksualnya pada konsumsi ayam yang mengandung hormon tertentu.

Setelah menghadapi situasi ini, Nephi memutuskan untuk meninggalkan sekte tersebut dan bercerai dari istrinya. Namun, hidupnya pasca keluar dari The Order tidak mudah, dia bahkan tinggal dalam mobilnya untuk sementara waktu.

Nephi sekarang berjuang untuk mendapatkan hak kunjungan untuk bertemu anak-anaknya, sementara putri sulungnya menghadapi tekanan potensial untuk menikah sesuai dengan tradisi sekte.

Sejarah Poligami: Sebagai Praktik Kultural dan Transformasi nya dalam Islam

Sebelum Islam, praktik poligami bukanlah hal baru di dunia Arab atau di banyak peradaban lainnya di seluruh dunia. Praktik ini telah menjadi bagian dari peradaban patriarkhis yang memposisikan laki-laki sebagai pemegang otoritas dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks ini, perempuan sering kali dipandang hanya sebagai objek (mataa’) untuk kepuasan laki-laki.

Di Arab, sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, perempuan sering kali dianggap tidak berharga, bisa diwariskan, dan dianggap sebagai milik laki-laki. Tradisi ini tercermin dalam Al-Qur’an dan dalam pernyataan Umar bin Khattab, yang menggambarkan bahwa perempuan dianggap rendah dan tidak signifikan.

Al-Qur’an turun untuk mengoreksi pandangan ini, dengan menunjukkan bahwa setiap manusia, termasuk perempuan, memiliki martabat yang harus dihormati. Meskipun tidak secara radikal, Al-Qur’an mengurangi jumlah istri yang diizinkan menjadi empat, sambil menekankan perlunya memperlakukan istri dengan adil.

Namun, poligami dalam prakteknya sering kali memunculkan konflik internal di dalam keluarga, menciptakan masalah psikologis, dan menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Meskipun demikian, Islam berusaha untuk mengurangi dampak negatif ini secara bertahap dan persuasif, menunjukkan pandangan yang kritis dan transformasional terhadap kebiasaan sosial pada masanya.

Dengan demikian, pendekatan Al-Qur’an terhadap poligami adalah bagian dari upaya transformasi sosial yang lebih luas, untuk menciptakan keadilan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, sejalan dengan misi untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. (red)