Realitas Tersembunyi Pengungsi Rohingya: Ditolak di Aceh, tapi punya ‘Rumah’ di Bangladesh

World largest humanitarian response, Rohingya refugee camps in Cox's Bazar, Bangladesh

Aksaratimes.com I 15 Desember 2023 Jakarta – Pengungsi Rohingya yang baru tiba di Aceh menghadapi penolakan dari warga setempat, tetapi di balik penolakan ini terdapat fakta menarik. Sejumlah pengungsi tersebut sebenarnya telah memiliki ‘rumah’ di Bangladesh, tempat yang menyajikan tantangan dan kontroversi tersendiri.

Pada Minggu (19/11) lalu, 490 pengungsi Rohingya mendarat di Bireuen dan Pidie. Namun, keempat desa yang menjadi tempat pendaratan, yaitu Kecamatan Gandapura, Bireuen, dan desa Lhok Mambang, Samuti Rayeuk, Samuti Krueng, dan Blang Rheu, menolak kehadiran mereka. Alasan penolakan didasarkan pada persepsi negatif terhadap perilaku dan tindakan para pengungsi yang dianggap tidak sesuai dengan adat dan norma-norma peraturan desa.

Meskipun mendapat penolakan, warga tetap memberikan bantuan berupa makanan, minuman, beras, dan pakaian kepada pengungsi Rohingya tersebut. Hal ini mencerminkan sikap kemanusiaan meskipun terdapat ketidaksetujuan terhadap kehadiran mereka.

Read More

Namun, investigasi lebih lanjut mengungkap fakta menarik bahwa para pengungsi tersebut sebelumnya kabur dari Bangladesh, tempat yang sebenarnya sudah menyediakan tempat tinggal untuk mereka. Pemerintah Bangladesh telah mengalokasikan dana sekitar US$ 350 juta atau Rp 5,1 triliun untuk membangun kota baru di pulau terpencil bernama Bhasan Char.

Pulau ini menampung ratusan rumah beratap merah dengan fasilitas modern seperti kamera pengawas, sekolah, masjid, rumah sakit, dan klinik komunitas. Langkah ini diambil sebagai upaya pemerintah Bangladesh untuk mengatasi masalah di kamp pengungsian Cox’s Bazar yang semakin kompleks, terutama terkait kekerasan, peredaran narkoba, dan perdagangan manusia.

Namun, relokasi ini mendapat sorotan karena dilakukan tanpa persetujuan para pengungsi Rohingya. Sejumlah di antara mereka merasa terisolasi dan khawatir akan risiko angin topan yang tinggi di pulau tersebut. Meski ‘rumah’ di Bhasan Char terlihat baik, banyak pengungsi menganggapnya seperti penjara yang akan membatasi kebebasan mereka.

Kontroversi di seputar relokasi ini membawa pemahaman yang lebih dalam terkait kondisi yang dihadapi oleh pengungsi Rohingya, serta menyoroti tantangan yang dihadapi oleh negara-negara yang berupaya menanggapi krisis pengungsi ini.

Kekejaman di Cox’s Bazar: Pengungsi Rohingya Terpinggirkan, UNHCR Menolak Bertanggung Jawab

Pada akhir tahun 2023, gelombang pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Dalam kurun waktu kurang dari sebulan, sejak pertengahan November 2023, hampir 2000 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh, Indonesia, dengan tujuan mencari kehidupan yang damai dan layak.

Kedatangan mereka menjadi refleksi dari kondisi mengerikan di Cox’s Bazar, tempat penampungan sekitar satu juta pengungsi Rohingya lainnya di Bangladesh. Permasalahan yang muncul di Cox’s Bazar, seperti meningkatnya kekerasan oleh geng-geng dan berkurangnya bantuan makanan dari donatur internasional, mendorong pengungsi Rohingya untuk mencari perlindungan di tempat lain.

Pada Maret 2023, The Washington Post melaporkan kondisi kengerian di Cox’s Bazar. Enam tahun setelah genosida terhadap minoritas Muslim Rohingya oleh Junta militer Myanmar, kekerasan melanda kamp-kamp penampungan Rohingya di Bangladesh. Konflik internal antar kelompok Rohingya memuncak, diiringi dengan penculikan, perampokan bersenjata, dan aksi teror kelompok radikal di malam hari.

Pengungsi yang menjadi sasaran pembunuhan yang ditargetkan termasuk pemimpin masyarakat dan informan pemerintah Bangladesh, seperti Mohammad Ismail. Pada tahun 2022, setidaknya 40 pengungsi Rohingya tewas, meskipun banyak yang berpendapat bahwa jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi.

Lembaga-lembaga internasional dan pemerintah Bangladesh dianggap gagal mengatasi eskalasi kekerasan ini. Meskipun UNHCR (Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi) berada di kamp-kamp tersebut, aspek keamanan bukanlah bagian dari mandat UNHCR. Johannes van der Klaauw, direktur negara UNHCR, menyatakan bahwa keamanan pengungsi adalah tanggung jawab pemerintah Bangladesh.

Pihak berwenang Bangladesh menyatakan bahwa Batalyon Polisi Bersenjata Bangladesh (APBn) bertanggung jawab atas keamanan kamp-kamp Rohingya, meskipun pasukan keamanan mengakui kesulitan mereka dalam mengatasi situasi tersebut. Pasokan senjata dari Myanmar dan larangan mencari masa depan di Bangladesh mendorong sebagian pengungsi Rohingya menuju radikalisasi.

Situasi semakin memburuk, dan upaya pencarian perlindungan yang dilakukan oleh pengungsi seperti Ismail menggambarkan dampak ketidakpedulian dunia terhadap krisis kemanusiaan yang parah ini. Kekejaman di Cox’s Bazar mencuatkan tantangan serius yang dihadapi oleh pengungsi Rohingya, sementara lembaga-lembaga yang seharusnya melindungi mereka cenderung menarik diri dari tanggung jawab. (red)